Rabu, 29 Februari 2012

Menyoal Gigi Kropos Anak Palembang



                                                                        OTOKO MAE

Masih kecil dulu, sarapan pagi saya adalah pempek. Makan pempek lima biji plus cuko nya 3 mangkuk. Tidak sendirian saya melakukan seperti itu, teman lain yang sebaya pun begitu. Duduk jongkok didepan penjual pempek asongan, mengelilinginya sambil candaan pagi dan menghirup cuko.
Hal hasil, teman sebaya dan saya sendiri, sekarang ini, ketika telah besar begini, giginya kropos semua. Ya, mau gimana lagi, namanya saja masa kecil, setelah makan pempek malas rasanya buat mengosok gigi.
Masa kecil, ketika masih duduk dibangku sekolah dasar, Saya membantu orang tua berdagang kelontongan di Terminal. Saya dibangunkan jam 5 pagi, kemudian di suruh mandi dan menjaga warung ketika kedua orang tua saya berbelanja modal.
Sembari belajar menulis “halus kasar” pada pelajaran Bahasa Indonesia. saya juga belajar menghitung uang kembalian pakai “lidi” ketika menjaga warung pagi tersebut. Terkadang sering salah uang kembalian, dan dibalikin lagi oleh pembeli yang sebagaian besar sopir Bus AKDP. Kadang dijitakin oleh mereka untuk lebih serius lagi belajar berhitung.
Setelah Ortu pulang dari belanja, kemudian Aplusan. Lalu mereka memberi saya uang untuk sarapan apa saja yang dimau, dan langganan saat itu adalah pempek asongan. Duduk jongkok menghadap hidangan bersama teman-teman yang saat itu pasti ada buat sarapan yang sama. Setelah itu saya lalu pulang kerumah untuk berganti baju sekolah. Begitu saja seterusnya kegiatan itu dilakukan.
Kalau hari libur, begitu selesai sarapan pempek, saya ikut teman bekerja menyapu dalam bus AKDP. Bekas sampah bus biasanya banyak karena kernet malas menyapu, lalu menyuruh anak-anak di terminal yang membersihkannya. Setelah selesai tugas diberi uang lelah.
Bukan hanya pekerjaan itu, saya juga terkadang ikut anak-anak menyemir sepatu. Siang hari banyak penumpang bapak-bapak yang memakai sepatu kulit. Karena terminal masih tanah, jadi banyak debu. Terpaksa untuk mengkilatkan sepatu mereka lagi, bapak-bapak biasanya menjaga performanya dengan minta disemirkan kembali sepatunya.
Mula-mulanya ortu tak setuju. Tapi karena saya memaksa untuk menambah uang saku, mereka pun membelikan saya modal berupa semir dan sikat dua buah. Usaha saya lumayan, pelanggan saya banyak. Tapi hari minggu saja, saya bekerja seperti itu, kalau hari sekolah, ketika pulang dari belajar saya disuruh membantu ibu menjaga warung, sebab ayah saya ngasong rokok disetiap bus.
Pernah juga saya berganti pekerjaan. Mungkin sudah bosan sikat menyikat sepatu, saya berjualan rambutan dan duku di emperan terminal. Buahan di beli oleh ortu pagi harinya, siangnya setelah pulang sekolah, saya menjualnya di sela bus. Karena keasyikan banyak yang beli, tidak melihat lagi ketika hendak menukarkan uang receh saya ditabrak mobil yang tidak begitu ngebut. Kaki saya lecet saja dan luka tidak begitu parah. Orang tua ngamuk-ngamuk dan melarang saya lagi “berbisnis”.
Namun, karena telah terbiasa tetap saja saya berbisnis setelah sembuh. Menyapu mobil tetap saya lakukan dan bisnis baru saya buka, yaitu berjualan koran. Saya mengecernya di bus-bus, zaman dulu jenis koran masih sedikit hanya ada Kompas dan koran daerah yang jarang terbit. Jadi, menjajakan koran cuma begini : “koran, koran, koran, kompas!”. Maklum ditangan cuma merek itu saja, tumpukan ditangan pun sedikit hanya 10 biji.
Selesai berbisnis dan dapat uang, saya pun jongkok lagi didepan penjual pempek asongan. Anak-anak telah ramai berkumpul, kadang saya tidak kebagian, rantang asongan telah ludes, anak-anak telah menghabiskannya tanpa bersisa. Tinggal mamang pempek saja yang kesenangan dagangannya habis.
Ya begini ini yang bikin gigi kropos. Setelah selesai makan, anak-anak tidak mengosok gigi lagi. Begitu pun saya, tidak segera menggosok gigi setelah makan dan langsung main.
Karena anak-anaknya disekitar terminal banyak yang berbisnis, makan pempek dan main (main dindong, video game) seperti biasa saja. Kalau habis uang itu dalam sehari, toh besoknya bisa mencari lagi dengan menyapu mobil, menyemir sepatu atau berjualan koran.
Jadi anak-anak di sekitar terminal di wilayah palembang, kaya-kaya. Karena itu kalau makan pempek yang banyak otomatis cukanya juga banyak. Menghirup cuka, “sruput-sruput”, tidak tahu efeknya setelah besar nanti.
Sekarang, setelah besar. Teman sebayaku dulu yang sekarang telah jadi Jaksa, polisi, Pengusaha dan lain sebagainya. Gigi grahamnya sudah kropos semua, bahkan ada teman saya yang toke kayu, semua giginya telah palsu. Hahaha, ya, mau gimana lagi, ini akibat makan pempek dan cukonya tidak menyikat gigi lagi, jadinya setelah besar, giginya kropos dan rapuh sebelum jadi nenek-nenek.
Sekian.

Selasa, 28 Februari 2012

Lampu Masih Merah, tapi Tetap Melaju



By : Otoko Mae

Mungkin untuk mengurangi macet, polisi membiarkan saja ini terjadi. Sebelum lampu “trafic light” nyala hijau, semua pengendara nekat melaju. Patokan mereka melihat dari kendaraan di seberang. Kalau kendaraan di seberang berhenti (tak perlu menunggu lampu hijau), langsung saja melaju.
Saya perhatikan, di persimpangan lampu merah charitas dan kampus Palembang (biasa saya sering lewatin), Pengemudi Kendaraan tidak memperhatikan lampu merah yang tegak berdiri lagi. Patokan mereka kendaraan di seberang, kalau motor dan mobil di seberang telah berhenti (lampu di seberang telah merah). Langsung saja melajukan kendaraan, walaupun lampu tempat mereka berhenti masih merah (masih tahapan berganti ke Hijau).
Trafic light atau saya biasa sebut “lampu merah”, merupakan peraturan bisu. Dia tak bisa bicara untuk menyuruh berhenti dan berjalan. Cara bicaranya dengan menggunakan warna. Kalau lampu menunjukkan warna merah, artinya pengendara harus berhenti dan belum boleh jalan. Kalau lampu telah menunjukan warna hijau, artinya pengendara harus jalan, tidak boleh berhenti. Itu adalah aturan baku dari Lampu lalu lintas.
Saya cuma kasihan melihat orang yang menyeberang. Padahal lampu berwarna hijau untuk pejalan kaki masih menyala. Tapi, karena pengendara tidak lagi melihat lampu dan hanya berpatokan pada kendaraan diseberang yang telah berhenti. Mereka melaju saja, tanpa menghiraukan lagi pejalan kaki yang sedang menyebrang.
Akibatnya, para pejalan kaki (sering kulihat) berlarian kucar-kacir menghindar buasnya para pengendara yang buta lampu merah.
Teringat ketika masih di Jepang dulu. Ketika itu saya masih giat belajar di senta (tempat belajar bahasa jepang). Tempat belajar tersebut sangat jauh dari aroma perkotaan, boleh dibilang agak pinggiran. Jadi agak sepi kendaraan, namun ada lampu lalu lintasnya.
Ketika pagi (kira-kira jam 6 -jam 7) hari minggu, saya melewati persimpangan lampu merah tersebut sambil mengendarai sepeda. Saya melihat, mobil berhenti dikala lampu berwarna merah. Padahal, saat itu diseberang lainnya tak ada mobil yang melaju. Kalau saja dia mau, bisa saja dia melenggang santai sambil melanggar lampu merah, toh tak ada satu pun mobil yang melaju di jalan lainnya.
Karena saya mengendarai sepeda, ketika akan menyeberang, saya memperhatikan lampu hijau untuk pejalan kaki. Namun biasanya, karena persimpangan tersebut sepi, saya sering saja menyeberang walaupun lampu untuk pejalan kaki berwarna merah. Mengapa?, karena saya pikir, toh tak ada mobil yang lewat. Kalau ada terlihat diujung mata mobil sedang melaju, saya biasanya berhenti untuk mentaati lampu merah.
Pernah saya berpapasan dengan orang jepang bersepeda pula, dia menanti lampu untuk menyeberang. Saat itu sepi tak ada kendaraan manapun, saya melihat situasi begini, melaju saja melanggar lampu merah. Ketika kulihat orang jepang tadi, masih sabar menunggu lampu untuknya menyeberang.
Itulah, cara berpikir orang jepang dan orang indonesia (Saya khususnya) berbeda. Kalau orang Jepang, patokan mereka adalah peraturan, kalau Saya adalah situasi. Melihat situasi sepi tanpa kendaraan yang lewat, saya akan menyeberang, walaupun lampu merah untuk menyeberang menyala. Orang jepang, melihat situasi sepi tanpa kendaraan dipersimpangan manapun, dia tetap saja berhenti mematuhi lampu merah yang menyala.
Saat itu saya berpikir, kok orang Jepang takut sekali kalau melanggar, apakah ketika bayi di dibedong secara ketat oleh ortu sehingga ketika besar nanti mentaati aturan yang sepele begini ya?.
Tak tahulah,
kalau saya, melihat situasi yang sepi dan tanpa kendaraan atau polisi, saya akan menyeberang saja. Tapi kalau di persimpangan Charitas dan kampus palembang tadi adalah keterlaluan. Ini bukan sebuah situasi yang bagus buat dilanggar, mengapa?, karena ramai pejalan kaki yang akan menyeberang. Kalau melanggar, bisa jadi nyawa pejalan kaki jadi taruhan dalam situasi yang begini.

Senin, 27 Februari 2012




 untuk membaca KLIK tulisan ini



untuk membaca klik tulisan ini


untuk membaca klik disini


 untuk membaca klik disini
 untuk membaca klik disini










picture



KLIK UNTUK LEBIH MENGENAL SAYA

Foto Ketika masih pendidikan bahasa jepang di Lembang Bandung
Klik disini untuk membaca

foto bersama muroka, dan Jon di Pantai kansai Osaka
Klik disini, ada pengalaman lucu

foto ketika pesawat transit di Singapore menuju Jakarta
Ada gaya Unik disini, klik

main ski di Nagano
klik disini untuk melihat yang unik
Club Sam and Dave di Umeda Osaka

bergaya di depan animasi usj

depan USJ

bergaya di miniatur Liberty di Fuji terebi Tokyo

Osaka Kastil, Osakajo koen
habis test 3 kyu dak lulus!

Universal Studio Japan (USJ)

Tokyo Tower

siki biliard

kyoto

Saya Orang Biasa yang Pernah ke Jepang


Saya Orang Biasa yang Pernah ke Jepang


OPINI | 28 February 2012 | 06:38Dibaca: 224   Komentar: 18   1 dari 2 Kompasianer menilai inspiratif
1330397996336261467

Untuk lebih mengenal Klik Disini Ya

Saya manusia biasa, orang Indonesia kebanyakan. Tidak begitu pintar, tidak hebat dan tidak menonjol dibandingkan dengan teman-teman lainnya di sini.
Semasa kecil, saya bersekolah di SD Muhammadiyah. Muridnya hanya 18 orang, tidak begitu banyak murid dibanding sekolah dasar negeri lain di Palembang. Setelah lulus, lanjut ke SMP Negeri bukan Favorit, tapi lumayan NEM dan rayon sekolah mendukung untuk saya bisa bersekolah di SMP Negeri.
Setelah lulus, lanjut ke Sekolah menengah atas umum. Lulus SMP dengan NEM kecil, membuat saya tidak bisa diterima di SMU negeri. Kebetulan, didekat rumah ada sekolah SMU Muhammadiyah, jadilah saya bersekolah disana. Karena dekat, saya tidak perlu biaya tranportasi lagi untuk menunjang pendidikan di swasta yang mahal. Uang Transportasi saya tabung untuk menambah biaya SPP yang diberikan Ortu.
Lulus SMU, saya ditawari orang tua untuk jadi Polisi. Karena badan saya menunjang untuk bisa diterima di Koprs berbaju coklat tersebut, orang tua yang saat itu ada kenalan “orang dalam”, menyuruh saya mengikut tes kepolisian. Tapi saya tolak, karena saat itu saya takut (pernah mendengar cerita teman, kalau pendidikannya sangat keras di barak). Oleh karena itu, saya meminta berkuliah saja kepada Orang tua.
Sebelum UMPTN Untuk bisa berkuliah di UNSRI saya lalui dengan mengikuti Bimbel. Tapi tetap saja, persaingan yang ketat membuat saya gagal berkuliah di UNSRI. Tidak patah arang untuk berkuliah di Negeri, Tes ujian masuk Politeknik pun saya ikuti, dan berhasil, saya dapat berkuliah di Jurusan Teknik Mesin Diploma III.
Dengan perjuangan yang berat, saya dapat menyelesaikan kuliah. Walaupun sempat hampir DO (Droup Out) karena kekurangan biaya dan OD (Over Dosis), karena pertengahan kuliah bergaul dengan Narkoba bersama teman. saya lulus dengan perjuangan berat pada tahun 2001 dengan hati bersih dan bebas narkoba.
Perjuangan hidup dimulai, melamar pekerjaan di segala tempat. Jawaban lebih condong di tolak. Hati saya bingung, kemudian teman mengajak bisnis kecil-kecilan dengan ber-calo HP. Karena kecil, hasilnya pun kecil, habis dijalan saja, tidak sempat untuk ditabung.
Hati yang galau, melamar kesana kemari tidak dapat kerjaan, akhirnya saya ikut kursus BLKI. Di sana saya menemukan sebuah program yang membuat saya bersemangat untuk mengikuti. Diiming-imingi juga oleh senior yang telah sukses membawa uang banyak (Halal). Konsentrasi saya hanya kepada program itu. Sebuah program yang mengubah hidup saya, yaitu program pemagangan ke Jepang.
Tes yang sulit, tes matematika, Cek tubuh, lari 3 KM dalam waktu 15 menit, Psikotes, wawancara dengan orang Jepang, membuat saya berlatih terus sebelum hari tes. Tiap pagi, selesai sholat shubuh, saya berlatih mengelilingi stadion bumi Sriwijaya. Siangnya, saya membuka buku psikotes dan mempelajari sedikit huruf-huruf Jepang. Kebugaran tubuh saya jaga dengan minum susu dan makanan bergizi. Hal itu saya lakukan kira-kira selama 6 bulan sebelum tes berlangsung. Ketika hari H, saya menyakini diri ini supaya bisa melalui semua Tes. Dengan semangat untuk bisa menginjakkan kaki ke negeri Sakura saya lalui semua tahapan tes dengan sukses.
Semua itu (akhirnya bisa ke Jepang) saya lalui tanpa biaya sogokan. Mereka (ketika sudah berada di Jepang, teman banyak bercerita telah menghabiskan puluhan juta untuk menyogok panitia tes di daerahnya masing-masing), kalau bekerja, banyak menuntut lembur segala macam kepada perusahaan, Untuk mengembalikan uang yang keluar (sogokan) tadi. Kalau tidak dipenuhi, mereka ini akan “kabur” dari perusahaan, (otomatis keluar dari program magang). Mereka yang kabur akan menjadi ilegal. Mereka ini bisa saja bekerja di perusahaan di lain tempat, dan ditampung oleh organisasi ilegal di Jepang (Yakuza).
Saya orang biasa, yang tidak bermacam-macam. Saya hanya menjalani hidup yang lurus-lurus saja. Walau pun pernah bengkok semasa kuliah, itu dulu, merupakan bagian dari masa lalu.
Masa lalu juga yang membuat Jepang menjajah Indonesia. Masa lalu juga yang membuat rakyat Indonesia tersiksa oleh paham penjajahan Jepang. Namun, apakah masa lalu tersebut membuat kita harus dendam?, apakah hati kita harus selalu diliputi rasa benci kepada Orang Jepang?.
Saya rasa, buanglah segala perasaan (yang membuat hati diliputi kebencian tiada akhir, yang nanti akan menimbulkan penyakit pada diri) itu. Toh, masa lalu tersebut sudah terjadi, tidak bisa diulangi lagi untuk kita perbaiki. Jepang juga sudah banyak membantu Indonesia dalam segala bidang. Dalam hal merekrut anak Indonesia untuk Magang ke negara mereka, merupakan wujud bantuan negara Jepang untuk negara berkembang di ASEAN khususnya Indonesia.
Sekarang, saya hanyalah orang biasa yang merasakan pernah magang, menabung dan pulang dengan membawa uang ratusan juta dari Jepang. Sebelum kepulangan dari Jepang, Sacho (pemilik perusahaan) berpesan kepada saya: “Jadilah Manusia yang mengubah orang di sekelilingmu menjadi baik”.
Ohaiyou Gozaimasu,

Orang Jepang Pun Ada yang Tidak Bisa Membaca


Orang Jepang Pun Ada yang Tidak Bisa Membaca


HL | 10 February 2012 | 05:12Dibaca: 751   Komentar: 34   2 dari 4 Kompasianer menilai menarik

Teringat ketika baru datang ke Jepang dulu, saya disuruh membaca teks motivasi kerja dalam bahasa Jepang, namun terbata-bata. Karena saat itu saya hanya membaca huruf katakana dan hiragana saja, sedangkan huruf kanji tidak saya baca.
Ada sedikit malu juga saat itu, apalagi ada orang Jepang yang tertawa. Namun, malunya saya ketika itu masih bisa dikatakan biasa saja, karena saya masih baru. Kalaupun seterusnya tidak bisa juga, harap maklum saja, karena saya bukan Orang Jepang.
Ada yang bikin saya heran, ketika datang anak yang baru masuk bekerja, terbata-bata juga dalam membaca. Anak baru ini bukan orang asing seperti saya, tapi orang Jepang. Namanya Takeda, 20 tahun. Baru masuk bekerja setelah saya sudah setahun berada di perusahaan.
Waktu pun berlalu, Takeda dipindahkan ke mesin saya dan bekerja sama dengan saya. Saat itu kami mulai akrab, dan mengetahui kalau Takeda ini agak kurang mengerti huruf kanji. Takeda bisa membaca kanji, tapi ada beberapa kanji yang tidak dia mengerti karena level huruf kanji tersebut sudah tinggi.
Tekeda san hanya lulusan SMA (untuk ukuran Indonesia). Jadi pengetahuan huruf kanji cuma sebatas itu. Kata Takeda, teks Motivasi yang dibacakan saat itu, level kanjinya untuk perguruan tinggi. Jadi, dia tidak bisa mengeja kanji yang belum dipelajari itu, hingga terbata-bata dalam membaca.
Saya sangat bersyukur dong berdiam di Indonesia sekarang ini, bisa membaca semua koran berbahasa Indonesia. Kalau orang jepang semacam Takeda ini, belum tentu dia bisa membaca koran dalam Bahasa Jepang, mengapa? Karena koran Jepang memakai huruf Kanji. Level kanjinya pun sudah tinggi. Kurasa, banyak sekali kalimat terputus kalau Takeda membaca koran keras-keras.
Kalau di Indonesia, membaca dengan mengeja banyak terlihat pada anak-anak. Kalau di Jepang, Takeda ini masih di anggap anak-anak oleh orang Jepang. Namun bedanya, anak-anak orang jepang disebut bila dia belum bisa membaca kanji. Sedangkan kita, orang Indonesia, tidak mungkin disebut anak-anak kalau seumuran takeda ini tidak bisa membaca, tapi disebut buta huruf.
Takeda tidak bisa dikatakan buta huruf, karena kemampuan membaca cuma sebatas itu. Lalu mengapa saya tidak bisa dimaklumi ketika saya tidak bisa membaca kanji?, karena mereka menganggap orang Indonesia itu pintar, dan dapat menguasai bahasa mereka dalam waktu singkat.
3,5 tahun Jepang menduduki Indonesia pada zaman dahulu, mata mereka itu sepertinya terbuka sekarang ini, kalau Orang Indonesia itu Pintar. Kalau tidak pintar, tidak mungkin dalam waktu 4 bulan belajar bahasa Jepang di Indonesia semua siswa dapat menguasai Level 4 Nihonggo Noryokusiken. Bahkan, beberapa Anak magang yang pulang dari Jepang selama 3 Tahun disana, lulus Level 2 Tes Nihonggo noryokusiken. Mereka salut itu, dan terbukti di Perusahaan tempat ku bekerja dulu, andalan mereka dalam bekerja adalah anak Indonesia, walaupun mereka munafik untuk mengakui itu.

Pelacur dengan Sopan, Aisatsu


Pelacur dengan Sopan, Aisatsu


OPINI | 21 February 2012 | 06:48Dibaca: 390   Komentar: 13   Nihil
Aisatsu Atau salam ala Jepang tidak hanya diucapkan oleh masyarakat Jepang pada umumnya. Aisatsu juga diucapkan oleh mereka, Pekerja Seks Komersil.
Kata-kata “Konbanwa”, akan banyak terdengar kalau anda berada pada suatu lokalisasi yang berada di Jepang. Mereka, para wanita malam tersebut tidak segan-segan menyapa dan membungkukkan badan ke Anda dengan sopan.
Saya dulu pernah iseng main ke sebuah lokalisasi di Tenoji Osaka Bersama teman orang Jepang. Saya hanya sekedar kepengen tahu bagaimana situasi dan bentuk lokalisasi yang ada di Jepang.
Saya rasa tidak sama seperti yang ada di Indonesia, di Tenoji ini para wanita tidak nongkong dan duduk ngobrol di depan rumah. Tapi diam saja di dalam, namun pintu rumah selalu terbuka. Di ruang depan mereka duduk manis bersolek, ada memakai kimono, ada juga yang berpakaian seksi kebarat-baratan. Sering terdengar ketika saya melewati tiap rumah kata “konbanwa” dan “irasaimase” yang diucapkan oleh mereka.
Teman saya pernah mengajak pemberhentian di sebuah rumah. Seorang wanita muda berpakaian kimono duduk manis sedang bersolek. Ketika kami akan hendak masuk, Dia lalu berdiri, dan membungkukkan badannya sambil berucap Aisatsu.
Karena iseng, bukan sebagai keperluan “berbelanja”, kami hanya ngobrol sebentar lalu keluar. Kami diantarnya sampai ke depan pintu, dan keluar kata “Arigatou Gozaimasu”, sebagai ucapan terima kasih telah mampir.
Pelacur atau PSK, kebanyakan dipikiran saya sebelumnya adalah wanita yang tidak sopan. Karena pernah menjelajahi suatu lokalisasi di Palembang, saya pernah ditarik paksa oleh wanita untuk masuk kerumah.
Namun di Tenoji ini, pandangan saya beda, mereka sopan. Mengucapkan salam dengan sopan tidak hilang dari mereka, budaya khas tidak tergeser walaupun mereka berada di lembah hitam.
Cukup aneh bagi saya, pada saat berada pada posisi yang “terpinggirkan”, mereka masih berbudaya. Seharusnya pada posisi yang begini, mereka menghilangkan saja budaya tersebut, karena bisa jadi orang asing akan menduga kalau sudah salah masuk kamar, bukan rumah bordil tapi rumah gadis perawan.

Gaya Anak Sekolah di Jepang


Gaya Anak Sekolah di Jepang


OPINI | 24 February 2012 | 06:37Dibaca: 1915   Komentar: 43   2 dari 3 Kompasianer menilai menarik
Dulu, pagi hari ketika berangkat kerja, saya selalu berpapasan dengan anak muda Jepang berseragam sedang mengayuh sepeda. Ceweknya memakai rok mini, sedangkan cowoknya bercelana panjang. Berdandan modis dan modern, dengan gaya rambut berwarna ke-Amerika-an.
Sambil mengayuh sepeda, anak sekolah ini ngobrol ke temannya yang mengayuh sepeda juga. Biasanya cewek antar cewek, dan cowok antar cowok. Yang saya tidak tahan, kalau sudah berpapasan dengan rombongan anak sekolah cewek. Mereka ini suka melihat ke saya sambil berucap nyaris tak terdengar, “gaijin” (orang asing dalam ucapan yang agak sinis). Namun yang tidak tahan saya bukan ucapan itu, tapi kayuhan kaki mereka pada pedal sepeda. Anda tahu sendiri kan bagaimana bila mengayuh sepeda pakai rok mini?.
Rok mini yang dipakai gadis berseragam sekolah sudah pemandangan biasa di Jepang. Pun, saya terbiasa juga melihat pemandangan pada suatu gerbong kereta, pasangan muda-mudi berseragam sedang berpelukan. Mereka acuh, menganggap isi penumpang gerbong yang memang sedikit itu bagai tidak ada sama sekali orang.
Lain waktu di suatu gerbong, aku melihat segerombolan anak sekolah berpenampilan nyentrik, rambutnya seperti Megaloman, kulitnya coklat terbakar, dan ber-make up norak. Menurut saya mereka ini kepengen mengikuti Artis Beyonce, karena dulu tahun 2007-an anak muda Jepang banyak mengaguminya.
Pernah juga menjumpai di gerbong kereta anak sekolahan yang biasa saja. Biasa seperti kebanyakan orang Jepang, yaitu membaca buku, mainin HP atau Tidur. Biasanya, buku yang dibaca adalah Komik bergambar. Kalau anak sekolah yang mainin “keitai” atau HP mereka kebanyakan memakai Produk Docomo untuk berinternet ria di kereta, karena memang orang Jepang banyak memakai produk tersebut. Kalau saya, orang asing kebanyakan memakai Vodafone sekarang (di Jepang) telah berubah menjadi Softbank.
Produk Docomo memang lebih murah dibandingkan Softbank. Murah harganya, dan murah juga untuk menelpon, sms, mail, dan ngenet. Produk Softbank juga lebih keren dalam hal Fitur dan casing membuatnya lebih mahal harganya dari docomo. Produk Docomo juga tidak bisa di pakai di luar Jepang, berbeda dengan Produk Softbank yang bisa di pakai di Indonesia (kalau HP sudah di Instalasi). Karena saya dulu memakai Softbank, ketika digunakan di kereta, anak sekolahan akan menengok, dan buru-buru menutup HP yang dimaininnya. Mungkin agak minder kali ya, melihat orang asing mempunyai HP lebih keren dari dia.
Kulihat, anak sekolah tadi sudah merunduk, bertanda dia sudah tidur. Kalau sudah tidak ngapa-ngapain mending tidur, ngidupin iPod, melamun sebentar lalu tertidur, begitu saja yang dilakukan anak sekolah kalau tidak membaca buku, atau mainin HP di kereta.
Anak sekolahan di Jepang juga sering mondar mandir pakai seragam pada hari libur. Biasanya mereka ini mengikuti jam tambahan. Setelah keluar dari sekolah, mereka tak langsung pulang, tapi nongkrong dulu di tempat Karaoke. Itu yang sering saya temui, ketika saya bersama teman melepas kepenatan berkaraoke di hari minggu.
Mengenai pergaulan mereka yang saya rasa cukup bebas, karena bisa jadi karena pengaruh teknologi itu sendiri. Anak sekolahan sering mengakses internet melalui HP mereka. Internet di Jepang tanpa batas, bebas, kecepatannya pun luar biasa cepat (kabarnya NO. 1 di Dunia), Saya mendownload 1 lagu 15 MB saja, dalam hitungan detik telah selesai. Apalagi cuma buat buka Youtube atau akses situs video porno lainnya.
Tempat hiburan yang banyak membuat anak sekolah menghabiskan waktu bersama di sana. Bersenang-senang hingga kebablasan, bisa jadi mereka lupa kalau keperawanan itu penting. Salah satu faktor penunjang cowok untuk menggoda adalah rok mini itu tadi. Namanya saja lelaki, tidak diundang saja mereka akan datang, apalagi diundang.
Gaya anak sekolah di Jepang sangat jauh dibanding anak sekolah di Indonesia. Karena memang mereka di dukung oleh kemajuan teknologi di negaranya. Bisa jadi Indonesia akan sama dengan mereka, kalau kemajuan teknologi kita sudah melaju cepat pagai peluru dan merobek norma budaya ketimuran Indonesia.

Orang Jepang Jarang yang Berkumis


Orang Jepang Jarang yang Berkumis


OPINI | 27 February 2012 | 17:28Dibaca: 577   Komentar: 27   1 dari 2 Kompasianer menilai menarik
1330398246370284879
Saya pernah ditegur Bos ketika masih magang di Jepang dulu. Dia menyuruh saya memotong jenggot dan kumis yang dirasa tidak begitu lebat. Karena peraturan perusahaan, karyawan dari manapun harus rapi dan tidak boleh memeliharanya. Terpaksa saya cukur rapi sehingga tampak klimis.
Bagi mereka, orang Jepang. Memelihara jenggot dan kumis tidak elok, dirasa jorok dipikiran dan matanya. Ketika kutanyakan salah seorang karyawan, memang bagi mereka kumis dan jenggot yang panjang tidak enak dilihat. Kalau makan, sisa makanan sering nyangkut di kumis. Jadi, untuk menghilangkan kesan jorok bagi mereka, terpaksa, kami anak magang, tidak satu pun memelihara jenggot dan kumis.
Saya pernah tidak sengaja melihat beberapa isi loker orang jepang. Didalam loker mereka terdapat alat cukur, dan di pintu loker juga terpasang cermin kecil. Bila mereka telah berganti ke pakaian kerja, sebelum menuju ke tempat kerja, mereka pasti memeriksa jenggot dan kumis dulu. Kalau diraba-raba kasar, dia lalu mencukurnya, kalau dirasa rapi akan berkata “yos” dengan lirih.
Di jalanan Osaka, maupun di televisi, jarang memang saya lihat, orang Jepang berkumis. Apalagi berkumis layaknya pak raden, atau opie kumis. Jadi, kalau pelawak di Jepang, tidak ada anekdot namanya diembel-embeli kumis.
Wajah rapi tanpa ditumbuhi bulu-bulu memang merupakan Performa dari Orang Jepang. Mereka lebih merasa gagah kalau tanpa kumis. Merasa aneh kalau orang jepang melihat orang asing berkumis, apalagi dengan ditumbuhi jenggot yang panjang.
Tapi, itu semua tergantung perusahaan masing-masing. Ada yang memperbolehkan memeliharanya, ada yang tidak. Perusahaan tempat saya magang dulu tidak memperbolehkan. Kalau perusahaan teman di Nagoya ada yang memperbolehkannya. Jadi, kalau teman tersebut main kerumah saya di Osaka, menjemput dia di stasiun kereta agak Risih juga. Sebab orang jepang pada ngeliatin teman saya yang berkumis.
Kalau di Indonesia bagaimana?,
perusahaan membolehkannya, asal rapi dan tidak terlalu panjang. Begitu pun PNS dan pegawai Pemerintahan lainnya, boleh saja memelihara kumis dan jenggot asal rapi dan terawat. Seandainya pemerintah melarang pegawainya berkumis, bisa jadi Kapolri kita, Bapak Timur Pradopo akan blingsatan mendengar peraturan ini. Apalagi Menpora kita, Andi Malaranggeng, dia pasti paling dulu mencukur kumisnya yang seksi.
Bagaimana dengan anda, Apakah berkumis dan berjenggot?,
Kalau iya nikmatilah. belum tentu manusia di negara lain bisa menikmati kebebasan di negeri kita. Ini sebuah anugerah yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata.