Selasa, 28 Februari 2012

Lampu Masih Merah, tapi Tetap Melaju



By : Otoko Mae

Mungkin untuk mengurangi macet, polisi membiarkan saja ini terjadi. Sebelum lampu “trafic light” nyala hijau, semua pengendara nekat melaju. Patokan mereka melihat dari kendaraan di seberang. Kalau kendaraan di seberang berhenti (tak perlu menunggu lampu hijau), langsung saja melaju.
Saya perhatikan, di persimpangan lampu merah charitas dan kampus Palembang (biasa saya sering lewatin), Pengemudi Kendaraan tidak memperhatikan lampu merah yang tegak berdiri lagi. Patokan mereka kendaraan di seberang, kalau motor dan mobil di seberang telah berhenti (lampu di seberang telah merah). Langsung saja melajukan kendaraan, walaupun lampu tempat mereka berhenti masih merah (masih tahapan berganti ke Hijau).
Trafic light atau saya biasa sebut “lampu merah”, merupakan peraturan bisu. Dia tak bisa bicara untuk menyuruh berhenti dan berjalan. Cara bicaranya dengan menggunakan warna. Kalau lampu menunjukkan warna merah, artinya pengendara harus berhenti dan belum boleh jalan. Kalau lampu telah menunjukan warna hijau, artinya pengendara harus jalan, tidak boleh berhenti. Itu adalah aturan baku dari Lampu lalu lintas.
Saya cuma kasihan melihat orang yang menyeberang. Padahal lampu berwarna hijau untuk pejalan kaki masih menyala. Tapi, karena pengendara tidak lagi melihat lampu dan hanya berpatokan pada kendaraan diseberang yang telah berhenti. Mereka melaju saja, tanpa menghiraukan lagi pejalan kaki yang sedang menyebrang.
Akibatnya, para pejalan kaki (sering kulihat) berlarian kucar-kacir menghindar buasnya para pengendara yang buta lampu merah.
Teringat ketika masih di Jepang dulu. Ketika itu saya masih giat belajar di senta (tempat belajar bahasa jepang). Tempat belajar tersebut sangat jauh dari aroma perkotaan, boleh dibilang agak pinggiran. Jadi agak sepi kendaraan, namun ada lampu lalu lintasnya.
Ketika pagi (kira-kira jam 6 -jam 7) hari minggu, saya melewati persimpangan lampu merah tersebut sambil mengendarai sepeda. Saya melihat, mobil berhenti dikala lampu berwarna merah. Padahal, saat itu diseberang lainnya tak ada mobil yang melaju. Kalau saja dia mau, bisa saja dia melenggang santai sambil melanggar lampu merah, toh tak ada satu pun mobil yang melaju di jalan lainnya.
Karena saya mengendarai sepeda, ketika akan menyeberang, saya memperhatikan lampu hijau untuk pejalan kaki. Namun biasanya, karena persimpangan tersebut sepi, saya sering saja menyeberang walaupun lampu untuk pejalan kaki berwarna merah. Mengapa?, karena saya pikir, toh tak ada mobil yang lewat. Kalau ada terlihat diujung mata mobil sedang melaju, saya biasanya berhenti untuk mentaati lampu merah.
Pernah saya berpapasan dengan orang jepang bersepeda pula, dia menanti lampu untuk menyeberang. Saat itu sepi tak ada kendaraan manapun, saya melihat situasi begini, melaju saja melanggar lampu merah. Ketika kulihat orang jepang tadi, masih sabar menunggu lampu untuknya menyeberang.
Itulah, cara berpikir orang jepang dan orang indonesia (Saya khususnya) berbeda. Kalau orang Jepang, patokan mereka adalah peraturan, kalau Saya adalah situasi. Melihat situasi sepi tanpa kendaraan yang lewat, saya akan menyeberang, walaupun lampu merah untuk menyeberang menyala. Orang jepang, melihat situasi sepi tanpa kendaraan dipersimpangan manapun, dia tetap saja berhenti mematuhi lampu merah yang menyala.
Saat itu saya berpikir, kok orang Jepang takut sekali kalau melanggar, apakah ketika bayi di dibedong secara ketat oleh ortu sehingga ketika besar nanti mentaati aturan yang sepele begini ya?.
Tak tahulah,
kalau saya, melihat situasi yang sepi dan tanpa kendaraan atau polisi, saya akan menyeberang saja. Tapi kalau di persimpangan Charitas dan kampus palembang tadi adalah keterlaluan. Ini bukan sebuah situasi yang bagus buat dilanggar, mengapa?, karena ramai pejalan kaki yang akan menyeberang. Kalau melanggar, bisa jadi nyawa pejalan kaki jadi taruhan dalam situasi yang begini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar